NENE LUHU
SEMUA kesenangan yang
dirasakan di rumah Raja Soya adalah bagaikan bedak pupur diatas muka yang
bopeng. Biar setebal apapun bedaknya, bopeng akan tetap bopeng juga. Kandungan
yang makin membesar mengundang rasa malu. Dalam hatinya selalu berkata: “Beta
datang untuk membawa aib pada nama keluarga raja Soya. Betapa menyapu arang
diwajah mereka. Dan ini tidak boleh terjadi. Beta harus pergi dari rumah
keluarga beta ini dan mengembara kemana saja.”
Pada suatu malam Ina Luhu memasuki kamarnya.
Sebagai puteri raja, ia diberikan sebuah kamar yang indah di rumah raja. Ia
naik ketempat tidurnya. Diatas tempat tidur ia berlutut dan bersujud sambil
brdoa: “O, Tuhan, ampuni hambaMu! Bila Tuhan mengasihi hamba, bebaskanlah hamba
dari penderitaan ini. Hamba sudah tak mampu lagi menanggungnya terlalu lama.
Ambilah jiwa hamba Tuhan dan campakanlah tubuh hamba untuk menjadi binatang
buas. Sebab tubuh ini tak mampu lagi dipakai untuk memuja Engkau di dunia ini.
Tuhan, kasihanilah hamba dan dengarlah doa hamba. Amin!
Sesudah berdoa, Ta Ina Luhu turun
perlahan-lahan dari tempat tidurnya, membuka pintu dan keluar ke halaman.
Rembulan di malam itu sangat terang menderang. Langit bersih walaupun udara
agak dingin karena Desa Soya terletak di daerah pegunungan. Ta Ina Luhu
mengambil syal yang biasa dililit dilehernya. Ia berjalan sejauh sepuluh meter
dari rumah dan menolah kea rah rumah yang menjadi tempat kediamannya. Dengan
mulut yang komat-kamit, ia pamit: “O, rumahku dan keluargaku yang
tersayang..relakan beta pergi. Jangan cari beta lai. Aib yang menimpa diri ini
biarlah untuk beta sendiri.”
Sunyi, hanya salak anjing dikejauahan. Tidak
sesosok tubuhpun yang ada di jalan. Di halaman ada seekor kuda yang sedang
merumput. Kuda itu kepunyaan raja Soya. Beliau mempergunakannya bila datang ke
benteng menghadap Gubernur Ambon.
Perlahan-lahan Ta Ina Luhu mendekati kuda itu.
Dipegang tali kekangnya. Kudapun menurutinya. Dirayu-rayu kuda itu dengan
tangan kanannya. Kemudian ia melompat ke atas punggung kuda. Ia menyepak perut
kuda itu dengan kaki kanannya dan kuda itu berjalan menuruti keinginan Ta Ina
Luhu yang diatur dengan tali kekangnya. Kuda itu setia mengikuti kehendaknya
menurun dan menaiki gunung. Hutan yang dilaluinya belum pernah dijalaninya.
Embun malam membasahi kaki dan badannya. Namun tak terasa dingin sedikitpun.
Ketika matahari terbit Ta Ina Luhu telah berada di puncak gunung. Dari puncak
gunung itu, nampaklah teluk Ambon sungguh indah dan manisnya.
Ia turun dari punggung kuda, pantatnya terasa
panas karena hampir semalam-malaman berada dipunggung kuda. Ia jatuh terjembab
ke tanah. Ia tak berdaya untuk berdiri lagi. Hampir lima belas menit lamanya ia
berusaha dengan sekuat tenaga. Dengan kekuatannya yang masih ada, berdirilah Ta
Ina Luhu disamping kudanya. Kuda ditarik dari kekangnya dan pergi bernaung di
bawah sebatang pohon yang tidak seberapa besarnya di puncak gunung itu. Ta Ina
Luhu melepaskan lelahnya dibawah pohon itu sambil berbaring. Sedang kudanya
dibiarkan merumput di dekat situ. Ketika matahari makin tinggi, terasa perutnya
makin perih. Untung saja terlihat didekatnya ada sebatang pohon jambu biji. Ia
mendekati pohon jambu biji itu, dan terlihatlah ada beberapa buahnya yang
masak. Dipetiknya beberapa buah jambu biji yang masak-masak. Lalu ia kembali ke
bawah pohon itu sambil memakannya. Dalam keadaan seperti itu, sarapan dengan
beberapa buah jambu biji cukup lumayan.
Di negeri Soya, keluarga raja Soya menjadi panik.
Ketika mereka bangun pagi dan menengok ke dalam kamar puteri Luhu, tak
seorangpun Nampak. Mereka lalu coba mencarinya. Mereka menyangka Ta Ina Luhu
sedang jalan-jalan di pagi hari untuk menghirup udara gunung dengan angin yang
sedang bertiup dari puncak gunung Sirimau. Tetapi ketika mereka menunggu sampai
matahari telah tinggi, Ta Ina Luhu belum lagi kembali. Merekapun menjadi
gelisah. Sambil bertanya kesana-sini, jangan-jangan ada yang melihat dan
menjumpainya. Namun tak seorangpun yang melihatnya. Juga kuda sang raja ketika
mau dipergunakan, tidak berada ditempatnya yang biasa. Semua orang berpendapat,
Ta Ina Luhu telah pergi dengan menunggangi kuda tersebut. Dan kalau ini benar,
maka mudah untuk mencarinya. Sebab mereka akan berjalan menelusuri telapak kaki
kuda. Dan karena tanah di pegunungan agak gembur maka telapak kaki kuda akan
mudah terlihat.
Raja Soya membunyikan tifa negeri sebanyak
empat kali untuk memanggil marinyo yaitu seorang petugas negeri dan enam kali
untuk memanggil Kepala Soa seorang staf pemerintahan. Ketika kedua pejabat itu
datang menghadap, maka mereka diperintahkan raja untuk memerintahkan semua
orang laki-laki yang berumur enam belas sampai empat puluh tahun agar segera
berkumpul di baileo. Tauri dan tifa segera dibunyikan disertai tabaos marinyo
keliling negeri meminta semua orang laki-laki yang berumur enam belas sampai
empat puluh tahun untuk berkumpul di baileo. Tidak berapa lamanya baileopun
penuhlah dengan orang laki-laki yang berumur enam belas hingga empat puluh
tahun. Malah yang lebih tua dari itupun hadir disitu untuk mencari tahu apakah
gerangan yang terjadi.
Setelah semuanya hadir maka raja Soya pun
memberitahukan tentang perginya nona Puteri Ta Ina Luhu dari rumah sejak pagi
dan belum kembali. Supaya semua anak muda di negeri Soya keluar mencarinya. Dan
bila menemuinya membawanya kembali ke Soya. Ia pergi sambil menunggang kuda.
Dengan demikian jejaknya akan mudah diikuti. Setelah mendapat petunjuk
berangkatlah mereka dengan membagi diri dalam beberapa rombongan. Ketika
matahari hampir terbenam, barulah jejak kuda ditemukan. Terpaksa pencarian hari
itu tak dapat ditemukan dengan mengikuti jejak kuda. Besoknya pagi-pagi
pencarian dilanjutkan lagi. Mereka mulai menelusuri telapak kaki kuda. Namun
ada bekas-bekas telapak lama yang menyebabkan pencarian itu tersendat-sendat.
Hari itu mereka telah menyiapkan obor supaya walaupun malam nanti pencarian
terus dilaksanakan sampai Nona Puteri Ta Ina Luhu dijumpai dan dibawa pulang.
Ta Ina Luhu tidak beranjak dari tempatnya beristirahat
dipuncak gunung itu. Tetapi karena ia mendengar suara orang memanggil-manggil
dari jauh maka ia segera pergi dari tempat itu turun ke pantai Amahusu.
Bekasnya bermalam di puncak gunung itu ditemui oleh rakyat Soya. Dari situ
mereka memandang ke teluk Ambon, wah, alangkah indahnya. Disinilah Nona Puteri
bernaung dan beristirahat. Untuk mengenang tempat peristirahatan Nona Puteri
itu, maka tempat tersebut mereka namai; “GUNGUNG NONA” sampai saat ini. Dan
guung Nona, puncaknya menjulang dan setiap mata dapat memandangnya dari teluk
Ambon. Nona Ta Ina Luhu berlari dengan kudanya turun ke pantai Amahusu. Setiba
di tepi pantai angin kencang menerbangkan topinya dan jatuh dibibir pantai.
Ketika topinya mau dipungutnya, topi itu telah menjadi “BATU”. Batu yang
menyerupai topi itu kemudian disebut “BATU CAPEU”, karena berdasarkan bahasa
daerah Maluku, Capeu artinya “Topi”. Dari Batu Capeu, ia mengendarai kudanya
perlahan-lahan masuk kota Ambon. Tubuhnya telah lemah, karena lapar bercampur
haus. Ketika ia mau memasuki kota Ambon dari Amahusu, ia bertemu dengan sebuah
mata air. Ia turun dari kudanya dan minum sepuas-puas hatinya disitu. Kudanya
juga diberi minum sepuas-puasnya. Air itulah yang kemudian bernama “AIR PUTERI”
sampai saat ini. Dari Air Puteri ia kembali menuju Gunung. Maksudnya ia mau ke
Gunung Nona tempat persembunyiannya semula. Karena ia tahu bahwa mereka yang
mencarinya tadi pasti sudah pergi dari sana. Tetapi kudanya perlahan-lahan
mendaki, tiba-tiba ia bertemu dengan serombongan pemuda Soya yang sedang
mencarinya. Ta Ina Luhu tak dapat lagi melarikan diri. Ia segera turun dari
kuda dan berlutut di atas tanah sambil berdoa : “O Tuhan yang hamba kasihi,
kira Tuhan jangan mempermalukan hamba di tengah mereka yang mencari hamba ini.”
Dan ketika mereka akan memegangnya maka hilanglah Ta Ina Luhu diantara mereka.
Seorangpun diantara mereka yang tak melihat kemana Nona Puteri Ta Ina Luhu itu
pergi dan menghilang. Ia Raib untuk selama-lamanya. Kemanapun ia dicari tak
pernah dijumpainya lagi.
Memang perbuatan manusia terlalu kejam.
Manusia terlalu serakah penuh napsu untuk merusak dan menghisap sesama. Ta Ina
Luhu seorang Puteri yang cantik jelita. Ia tak rela hidup lebih lama menanggung
derita akibat tamak, loba dan napsu serakah manusia. Ia mengutuki penjajahan
dan tak mau berdamai dengan mereka sampai sirna.
Kini kehilangan Ta Ina Luhu itu menjadi
ceritera dan legenda. Kata orang di kota Ambon: “Katong bisa mendapat antua
berupa seorang nenek tua, kalau hujan panas sedang turun”. Antua berjalan turun
naik, karena kaki sebelahnya adalah kaki manusia sedang sebelahnya adalah kaki
kuda. Kalau hujan panas turun (hujan disertai terik matahari) orang biasanya
menghindari diri dari jalan. Sebab katanya, nenek Luhu akan lewat dan mengambil
siapa saja yang dijumpainya. Biasanya beliau senang mengambil anak-anak dan
membawa mereka pergi. Siapa yang diambil pergi akan menghilang untuk beberapa
hari. Keluarganya cepat-cepat menghubungi tua-tua adat di kota Ambon atau di
negeri Soya meminta agar mereka membaca mantera-mantera agar anak mereka dapat
dikembalikan oleh Nenek Luhu. Atas permintaan sanak keluarga yang hilang
mantera-mantera pun dibacakan orang. Setelah mantera-mantera dibacakan oleh
tua-tua adat dari negeri Soya, maka yang hilang tadi dapat ditemukan kembali.
Dia ditemukan biasanya dalam keadaan sekarat.
Orang tidak menyebutnya Ta Ina Luhu lagi,
melainkan NENEK LUHU, karena beliau selalu menampakan diri seperti seorang
nenek yang tua renta. Sepanjang sejarah, Nenek Luhu ini antipati pada Belanda.
Ini terjadi dalam ceritera yang dikisahkan begini;
Di kota Ambon, pada sebelum Perang Dunia II,
ada sebuah hotel orang Belanda. Hotel itu bernama INDRACHT. Hotel itu berlokasi
di kantor Gubernur Maluku sekarang. Di hotel itu ada sebuah sositeit, tempat
orang Belanda berpesta pora dan bersenang-senang. Mereka berdansa hingga pagi
hari. Pada malam Minggu, sositeit itu tumpah ruah penuhnya. Banyak sekali pria
wanita, tua muda menghadiri acara pesta. Bagi orang-orang Belanda yang tak
punya pasangan berdansa, mereka bisa men dapatkan pasangan di soseteit itu.
Pada suatu malam Minggu datanglah ke sositeit,
letnan William van Batemberg. Ia datang ke sositeit tanpa pasangan, karena
memang ia masih lajang. Ketika music waltz berbunyi yang dimainkan oleh orkes
hawaian Yong Ambon, orang mulai berdansa dengan asyiknya. Letnan William van
Batenberg. Tiba-tiba ia membuang pandang ke sudut timur sositeit itu. Tampak
olehnya seorang gadis remaja yang cantik jelita, sedang duduk seorang diri.
Kesempatan baik ini tidak dibiarkan letnan William untuk berlalu. Ia bangkit
dari duduknya dan menghampiri gadis manis, di sudut sositeit, yang sedang
kesepian. Ia menundukan kepala memohon nona untuk berdansa bersamanya. Dengan
senyum manis, nona berdiri dan menerima permohonan sang letnan. Mereka berdua
mulai mengayungkan langkah mengikuti irama waltz. Alangkah senangnya letnan
William mendapatkan seorang nona yang manis, cantik dan serasi, sebagai
pasangan dansanya mala ini. Tawa ria, cumbu rayu antara mereka berdua, hampir
tak terlukiskan lagi. Sayangnya letnan William tidak mengetahui, siapa
sebenarnya yang menjadi pasangannya. Mungkin ia telah bertanya, tetapi Nenek
Luhu memberikan nama samara pada William, entahlah. Karena asyiknya letnan
William lupa segala-galanya. Ia terbuai dalam pelukan Nenek Luhu, tokoh
misterius itu. Mungkin karena ia kecapaian dan ngantuk. Akhirnya ia hanya
mendengar musik itu sayup-sayup.
Minggu pagi, ketika terang benderang, semua
orang telah pulang ke kamarnya masing-masing di hotel indracht. Beberapa
perwira Belanda datang ke kamar William untuk bertanya, siapakah gadis manis
pasangan dengan letnan William. William ditunggu sehari itu, tetapi ia tak
kunjung pulang. Besoknya hari Senin, William ditunggu lagi, namun sang letnan
tak tampak batang hidungnya. Kawan-kawannya menjadi gelisah. Sudah dua hari
letnan William tak kunjung pulang. Timbullah kecurigaan para perwira itu,
tentang gadis manis pasangan dansa William semalam. Mereka teringat, ceritera
Nenek Luhu tokoh misterius itu. Ketika dicari kesana-kemari tak dapat, mereka
segera menghubungi tua-tua adat di negeri Soya. Tua-tua adat mengerahkan rakyat
untuk mencarinya.
Setelah mencari penuh, mereka menemukan
William van Batenberg, pada sebuah hutan yang lebat, dilereng gunung Nona. Ia
sedang terlentang dalam keadaan sekarat. Perutnya kembung, mulutnya berlumur
dengan lumpur. Cepat-cepat mereka membawanya pulang. Tua-tua adat segera
membacakan mantera-mantera untuk mengobatinya. Usaha mereka yang pertama sekali
ialah, mengeluarkan isi perutnya. Ternyata yang keluar dari mulut dan duburnya,
lumpur yang hitam pekat. Setelah semua isi perutnya terkuras keluar, ia menjadi
siuman dan sadarkan diri.
Teman-teman berusaha untuk menanyakan apa yang
ia alami dengan tokoh misterius itu. Dengan suara yang putus-putus ia
berceritera, bahwa teman dansanya itu adalah seorang gadis yang cantik, peramah
dan baik hati. Ketika berdansa beberapa kali dengannya, ia terlena karena
dibuai rayuan dan pelukan gadis itu. Rasanya ia tertidur sampai pagi tiba.
Ketika ia terjaga, dilihatnya ia berada dalam hutan lebat. Ia masih teringat
gadis manis itu memberikan makanan yang lezat-lezat padanya. Ia memakan
sepuas-puasnya. Gadis manis teman dansanya itu, kaki-kakinya tidak sempurna,
yaitu sebelah kirinya kaki manusia, dan sebelah kanannya kaki kuda. Dalam
berdansa kaki kuda itu selalu menginjak-injak sepatunya. Ia berusaha menegur
tentang apa yang terjadi, tetapi selalu ia bimbang dan lupa. Akhirnya ia hilang
ingatan sama sekali. Ketika ia siuman, ia dikelilingi oleh teman-temannya dan
berada dalam perawatan para tua-tua adat.
Kini semuanya telah terang benderang. Ilmu dan
teknologi telah berkembang maju dan semakin canggih, tetapi Nenek Luhu masih
merupakan seorang tokoh misterius pada penghuni kota dan pulau Ambon, malah
hampir di seluruh kepulauan Maluku.
Sampai dimana akhir dari kisah tokoh misterius
ini – mati atau hidup – tak seorangpun yang dapat atau takut mengungkapnya.
Mereka takut, kalau-kalau tokoh misterius ini marah, sehingga akan terjadi
malapetaka. Kini hanya tinggal kisahnya, merupakan sebuah ceritera yang tak
dapat diputarbalik oleh siapapun.
Menghilang Nenek Luhu, yang sering-sering
menampakan dirinya sebagai seorang nenek tua renta, dengan kaki kanannya dalah
kaki kuda, dan kaki kirinya adalah kaki manusia, memberi tanda pada masyarakat,
bahwa dialah Ta Ina Luhu yang hilang itu.
Ia selalu menampakan diri, ketika turun hujan
rintik-rintik disinari matahari yang terik. Pada saat itulah masyarakat
menghindari jalan raya, terutama anak-anak. Sebab beliau biasanya berjalan di
jalan, dan siapa saja yang dijumpainya, terutama anak-anak kecil, diambilnya
dan dibawanya pergi.
Hal yang kami ceriterakan di atas memang aneh,
tetapi nyata, dan hal ini bukanlah suatu yang diluar biasa bagi masyarakat di
Maluku. Ini bukan ceritera legenda atau dongeng semata, tetapi fakta yang
memang benar-benar terjadi, dan hingga kini masih tetap hidup dan terjadi.