Jumat, 05 Desember 2014

CERITA RAKYAT MALUKU (NENE LUHU)

NENE LUHU

SEMUA kesenangan yang dirasakan di rumah Raja Soya adalah bagaikan bedak pupur diatas muka yang bopeng. Biar setebal apapun bedaknya, bopeng akan tetap bopeng juga. Kandungan yang makin membesar mengundang rasa malu. Dalam hatinya selalu berkata: “Beta datang untuk membawa aib pada nama keluarga raja Soya. Betapa menyapu arang diwajah mereka. Dan ini tidak boleh terjadi. Beta harus pergi dari rumah keluarga beta ini dan mengembara kemana saja.”
Pada suatu malam Ina Luhu memasuki kamarnya. Sebagai puteri raja, ia diberikan sebuah kamar yang indah di rumah raja. Ia naik ketempat tidurnya. Diatas tempat tidur ia berlutut dan bersujud sambil brdoa: “O, Tuhan, ampuni hambaMu! Bila Tuhan mengasihi hamba, bebaskanlah hamba dari penderitaan ini. Hamba sudah tak mampu lagi menanggungnya terlalu lama. Ambilah jiwa hamba Tuhan dan campakanlah tubuh hamba untuk menjadi binatang buas. Sebab tubuh ini tak mampu lagi dipakai untuk memuja Engkau di dunia ini. Tuhan, kasihanilah hamba dan dengarlah doa hamba. Amin!
Sesudah berdoa, Ta Ina Luhu turun perlahan-lahan dari tempat tidurnya, membuka pintu dan keluar ke halaman. Rembulan di malam itu sangat terang menderang. Langit bersih walaupun udara agak dingin karena Desa Soya terletak di daerah pegunungan. Ta Ina Luhu mengambil syal yang biasa dililit dilehernya. Ia berjalan sejauh sepuluh meter dari rumah dan menolah kea rah rumah yang menjadi tempat kediamannya. Dengan mulut yang komat-kamit, ia pamit: “O, rumahku dan keluargaku yang tersayang..relakan beta pergi. Jangan cari beta lai. Aib yang menimpa diri ini biarlah untuk beta sendiri.”
Sunyi, hanya salak anjing dikejauahan. Tidak sesosok tubuhpun yang ada di jalan. Di halaman ada seekor kuda yang sedang merumput. Kuda itu kepunyaan raja Soya. Beliau mempergunakannya bila datang ke benteng menghadap Gubernur Ambon.
Perlahan-lahan Ta Ina Luhu mendekati kuda itu. Dipegang tali kekangnya. Kudapun menurutinya. Dirayu-rayu kuda itu dengan tangan kanannya. Kemudian ia melompat ke atas punggung kuda. Ia menyepak perut kuda itu dengan kaki kanannya dan kuda itu berjalan menuruti keinginan Ta Ina Luhu yang diatur dengan tali kekangnya. Kuda itu setia mengikuti kehendaknya menurun dan menaiki gunung. Hutan yang dilaluinya belum pernah dijalaninya. Embun malam membasahi kaki dan badannya. Namun tak terasa dingin sedikitpun. Ketika matahari terbit Ta Ina Luhu telah berada di puncak gunung. Dari puncak gunung itu, nampaklah teluk Ambon sungguh indah dan manisnya.
Ia turun dari punggung kuda, pantatnya terasa panas karena hampir semalam-malaman berada dipunggung kuda. Ia jatuh terjembab ke tanah. Ia tak berdaya untuk berdiri lagi. Hampir lima belas menit lamanya ia berusaha dengan sekuat tenaga. Dengan kekuatannya yang masih ada, berdirilah Ta Ina Luhu disamping kudanya. Kuda ditarik dari kekangnya dan pergi bernaung di bawah sebatang pohon yang tidak seberapa besarnya di puncak gunung itu. Ta Ina Luhu melepaskan lelahnya dibawah pohon itu sambil berbaring. Sedang kudanya dibiarkan merumput di dekat situ. Ketika matahari makin tinggi, terasa perutnya makin perih. Untung saja terlihat didekatnya ada sebatang pohon jambu biji. Ia mendekati pohon jambu biji itu, dan terlihatlah ada beberapa buahnya yang masak. Dipetiknya beberapa buah jambu biji yang masak-masak. Lalu ia kembali ke bawah pohon itu sambil memakannya. Dalam keadaan seperti itu, sarapan dengan beberapa buah jambu biji cukup lumayan.
Di negeri Soya, keluarga raja Soya menjadi panik. Ketika mereka bangun pagi dan menengok ke dalam kamar puteri Luhu, tak seorangpun Nampak. Mereka lalu coba mencarinya. Mereka menyangka Ta Ina Luhu sedang jalan-jalan di pagi hari untuk menghirup udara gunung dengan angin yang sedang bertiup dari puncak gunung Sirimau. Tetapi ketika mereka menunggu sampai matahari telah tinggi, Ta Ina Luhu belum lagi kembali. Merekapun menjadi gelisah. Sambil bertanya kesana-sini, jangan-jangan ada yang melihat dan menjumpainya. Namun tak seorangpun yang melihatnya. Juga kuda sang raja ketika mau dipergunakan, tidak berada ditempatnya yang biasa. Semua orang berpendapat, Ta Ina Luhu telah pergi dengan menunggangi kuda tersebut. Dan kalau ini benar, maka mudah untuk mencarinya. Sebab mereka akan berjalan menelusuri telapak kaki kuda. Dan karena tanah di pegunungan agak gembur maka telapak kaki kuda akan mudah terlihat.
Raja Soya membunyikan tifa negeri sebanyak empat kali untuk memanggil marinyo yaitu seorang petugas negeri dan enam kali untuk memanggil Kepala Soa seorang staf pemerintahan. Ketika kedua pejabat itu datang menghadap, maka mereka diperintahkan raja untuk memerintahkan semua orang laki-laki yang berumur enam belas sampai empat puluh tahun agar segera berkumpul di baileo. Tauri dan tifa segera dibunyikan disertai tabaos marinyo keliling negeri meminta semua orang laki-laki yang berumur enam belas sampai empat puluh tahun untuk berkumpul di baileo. Tidak berapa lamanya baileopun penuhlah dengan orang laki-laki yang berumur enam belas hingga empat puluh tahun. Malah yang lebih tua dari itupun hadir disitu untuk mencari tahu apakah gerangan yang terjadi.
Setelah semuanya hadir maka raja Soya pun memberitahukan tentang perginya nona Puteri Ta Ina Luhu dari rumah sejak pagi dan belum kembali. Supaya semua anak muda di negeri Soya keluar mencarinya. Dan bila menemuinya membawanya kembali ke Soya. Ia pergi sambil menunggang kuda. Dengan demikian jejaknya akan mudah diikuti. Setelah mendapat petunjuk berangkatlah mereka dengan membagi diri dalam beberapa rombongan. Ketika matahari hampir terbenam, barulah jejak kuda ditemukan. Terpaksa pencarian hari itu tak dapat ditemukan dengan mengikuti jejak kuda. Besoknya pagi-pagi pencarian dilanjutkan lagi. Mereka mulai menelusuri telapak kaki kuda. Namun ada bekas-bekas telapak lama yang menyebabkan pencarian itu tersendat-sendat. Hari itu mereka telah menyiapkan obor supaya walaupun malam nanti pencarian terus dilaksanakan sampai Nona Puteri Ta Ina Luhu dijumpai dan dibawa pulang.
Ta Ina Luhu tidak beranjak dari tempatnya beristirahat dipuncak gunung itu. Tetapi karena ia mendengar suara orang memanggil-manggil dari jauh maka ia segera pergi dari tempat itu turun ke pantai Amahusu. Bekasnya bermalam di puncak gunung itu ditemui oleh rakyat Soya. Dari situ mereka memandang ke teluk Ambon, wah, alangkah indahnya. Disinilah Nona Puteri bernaung dan beristirahat. Untuk mengenang tempat peristirahatan Nona Puteri itu, maka tempat tersebut mereka namai; “GUNGUNG NONA” sampai saat ini. Dan guung Nona, puncaknya menjulang dan setiap mata dapat memandangnya dari teluk Ambon. Nona Ta Ina Luhu berlari dengan kudanya turun ke pantai Amahusu. Setiba di tepi pantai angin kencang menerbangkan topinya dan jatuh dibibir pantai. Ketika topinya mau dipungutnya, topi itu telah menjadi “BATU”. Batu yang menyerupai topi itu kemudian disebut “BATU CAPEU”, karena berdasarkan bahasa daerah Maluku, Capeu artinya “Topi”. Dari Batu Capeu, ia mengendarai kudanya perlahan-lahan masuk kota Ambon. Tubuhnya telah lemah, karena lapar bercampur haus. Ketika ia mau memasuki kota Ambon dari Amahusu, ia bertemu dengan sebuah mata air. Ia turun dari kudanya dan minum sepuas-puas hatinya disitu. Kudanya juga diberi minum sepuas-puasnya. Air itulah yang kemudian bernama “AIR PUTERI” sampai saat ini. Dari Air Puteri ia kembali menuju Gunung. Maksudnya ia mau ke Gunung Nona tempat persembunyiannya semula. Karena ia tahu bahwa mereka yang mencarinya tadi pasti sudah pergi dari sana. Tetapi kudanya perlahan-lahan mendaki, tiba-tiba ia bertemu dengan serombongan pemuda Soya yang sedang mencarinya. Ta Ina Luhu tak dapat lagi melarikan diri. Ia segera turun dari kuda dan berlutut di atas tanah sambil berdoa : “O Tuhan yang hamba kasihi, kira Tuhan jangan mempermalukan hamba di tengah mereka yang mencari hamba ini.” Dan ketika mereka akan memegangnya maka hilanglah Ta Ina Luhu diantara mereka. Seorangpun diantara mereka yang tak melihat kemana Nona Puteri Ta Ina Luhu itu pergi dan menghilang. Ia Raib untuk selama-lamanya. Kemanapun ia dicari tak pernah dijumpainya lagi.
Memang perbuatan manusia terlalu kejam. Manusia terlalu serakah penuh napsu untuk merusak dan menghisap sesama. Ta Ina Luhu seorang Puteri yang cantik jelita. Ia tak rela hidup lebih lama menanggung derita akibat tamak, loba dan napsu serakah manusia. Ia mengutuki penjajahan dan tak mau berdamai dengan mereka sampai sirna.
Kini kehilangan Ta Ina Luhu itu menjadi ceritera dan legenda. Kata orang di kota Ambon: “Katong bisa mendapat antua berupa seorang nenek tua, kalau hujan panas sedang turun”. Antua berjalan turun naik, karena kaki sebelahnya adalah kaki manusia sedang sebelahnya adalah kaki kuda. Kalau hujan panas turun (hujan disertai terik matahari) orang biasanya menghindari diri dari jalan. Sebab katanya, nenek Luhu akan lewat dan mengambil siapa saja yang dijumpainya. Biasanya beliau senang mengambil anak-anak dan membawa mereka pergi. Siapa yang diambil pergi akan menghilang untuk beberapa hari. Keluarganya cepat-cepat menghubungi tua-tua adat di kota Ambon atau di negeri Soya meminta agar mereka membaca mantera-mantera agar anak mereka dapat dikembalikan oleh Nenek Luhu. Atas permintaan sanak keluarga yang hilang mantera-mantera pun dibacakan orang. Setelah mantera-mantera dibacakan oleh tua-tua adat dari negeri Soya, maka yang hilang tadi dapat ditemukan kembali. Dia ditemukan biasanya dalam keadaan sekarat.
Orang tidak menyebutnya Ta Ina Luhu lagi, melainkan NENEK LUHU, karena beliau selalu menampakan diri seperti seorang nenek yang tua renta. Sepanjang sejarah, Nenek Luhu ini antipati pada Belanda. Ini terjadi dalam ceritera yang dikisahkan begini;
Di kota Ambon, pada sebelum Perang Dunia II, ada sebuah hotel orang Belanda. Hotel itu bernama INDRACHT. Hotel itu berlokasi di kantor Gubernur Maluku sekarang. Di hotel itu ada sebuah sositeit, tempat orang Belanda berpesta pora dan bersenang-senang. Mereka berdansa hingga pagi hari. Pada malam Minggu, sositeit itu tumpah ruah penuhnya. Banyak sekali pria wanita, tua muda menghadiri acara pesta. Bagi orang-orang Belanda yang tak punya pasangan berdansa, mereka bisa men dapatkan pasangan di soseteit itu.
Pada suatu malam Minggu datanglah ke sositeit, letnan William van Batemberg. Ia datang ke sositeit tanpa pasangan, karena memang ia masih lajang. Ketika music waltz berbunyi yang dimainkan oleh orkes hawaian Yong Ambon, orang mulai berdansa dengan asyiknya. Letnan William van Batenberg. Tiba-tiba ia membuang pandang ke sudut timur sositeit itu. Tampak olehnya seorang gadis remaja yang cantik jelita, sedang duduk seorang diri. Kesempatan baik ini tidak dibiarkan letnan William untuk berlalu. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis manis, di sudut sositeit, yang sedang kesepian. Ia menundukan kepala memohon nona untuk berdansa bersamanya. Dengan senyum manis, nona berdiri dan menerima permohonan sang letnan. Mereka berdua mulai mengayungkan langkah mengikuti irama waltz. Alangkah senangnya letnan William mendapatkan seorang nona yang manis, cantik dan serasi, sebagai pasangan dansanya mala ini. Tawa ria, cumbu rayu antara mereka berdua, hampir tak terlukiskan lagi. Sayangnya letnan William tidak mengetahui, siapa sebenarnya yang menjadi pasangannya. Mungkin ia telah bertanya, tetapi Nenek Luhu memberikan nama samara pada William, entahlah. Karena asyiknya letnan William lupa segala-galanya. Ia terbuai dalam pelukan Nenek Luhu, tokoh misterius itu. Mungkin karena ia kecapaian dan ngantuk. Akhirnya ia hanya mendengar musik itu sayup-sayup.
Minggu pagi, ketika terang benderang, semua orang telah pulang ke kamarnya masing-masing di hotel indracht. Beberapa perwira Belanda datang ke kamar William untuk bertanya, siapakah gadis manis pasangan dengan letnan William. William ditunggu sehari itu, tetapi ia tak kunjung pulang. Besoknya hari Senin, William ditunggu lagi, namun sang letnan tak tampak batang hidungnya. Kawan-kawannya menjadi gelisah. Sudah dua hari letnan William tak kunjung pulang. Timbullah kecurigaan para perwira itu, tentang gadis manis pasangan dansa William semalam. Mereka teringat, ceritera Nenek Luhu tokoh misterius itu. Ketika dicari kesana-kemari tak dapat, mereka segera menghubungi tua-tua adat di negeri Soya. Tua-tua adat mengerahkan rakyat untuk mencarinya.
Setelah mencari penuh, mereka menemukan William van Batenberg, pada sebuah hutan yang lebat, dilereng gunung Nona. Ia sedang terlentang dalam keadaan sekarat. Perutnya kembung, mulutnya berlumur dengan lumpur. Cepat-cepat mereka membawanya pulang. Tua-tua adat segera membacakan mantera-mantera untuk mengobatinya. Usaha mereka yang pertama sekali ialah, mengeluarkan isi perutnya. Ternyata yang keluar dari mulut dan duburnya, lumpur yang hitam pekat. Setelah semua isi perutnya terkuras keluar, ia menjadi siuman dan sadarkan diri.
Teman-teman berusaha untuk menanyakan apa yang ia alami dengan tokoh misterius itu. Dengan suara yang putus-putus ia berceritera, bahwa teman dansanya itu adalah seorang gadis yang cantik, peramah dan baik hati. Ketika berdansa beberapa kali dengannya, ia terlena karena dibuai rayuan dan pelukan gadis itu. Rasanya ia tertidur sampai pagi tiba. Ketika ia terjaga, dilihatnya ia berada dalam hutan lebat. Ia masih teringat gadis manis itu memberikan makanan yang lezat-lezat padanya. Ia memakan sepuas-puasnya. Gadis manis teman dansanya itu, kaki-kakinya tidak sempurna, yaitu sebelah kirinya kaki manusia, dan sebelah kanannya kaki kuda. Dalam berdansa kaki kuda itu selalu menginjak-injak sepatunya. Ia berusaha menegur tentang apa yang terjadi, tetapi selalu ia bimbang dan lupa. Akhirnya ia hilang ingatan sama sekali. Ketika ia siuman, ia dikelilingi oleh teman-temannya dan berada dalam perawatan para tua-tua adat.
Kini semuanya telah terang benderang. Ilmu dan teknologi telah berkembang maju dan semakin canggih, tetapi Nenek Luhu masih merupakan seorang tokoh misterius pada penghuni kota dan pulau Ambon, malah hampir di seluruh kepulauan Maluku.
Sampai dimana akhir dari kisah tokoh misterius ini – mati atau hidup – tak seorangpun yang dapat atau takut mengungkapnya. Mereka takut, kalau-kalau tokoh misterius ini marah, sehingga akan terjadi malapetaka. Kini hanya tinggal kisahnya, merupakan sebuah ceritera yang tak dapat diputarbalik oleh siapapun.
Menghilang Nenek Luhu, yang sering-sering menampakan dirinya sebagai seorang nenek tua renta, dengan kaki kanannya dalah kaki kuda, dan kaki kirinya adalah kaki manusia, memberi tanda pada masyarakat, bahwa dialah Ta Ina Luhu yang hilang itu.
Ia selalu menampakan diri, ketika turun hujan rintik-rintik disinari matahari yang terik. Pada saat itulah masyarakat menghindari jalan raya, terutama anak-anak. Sebab beliau biasanya berjalan di jalan, dan siapa saja yang dijumpainya, terutama anak-anak kecil, diambilnya dan dibawanya pergi.
Hal yang kami ceriterakan di atas memang aneh, tetapi nyata, dan hal ini bukanlah suatu yang diluar biasa bagi masyarakat di Maluku. Ini bukan ceritera legenda atau dongeng semata, tetapi fakta yang memang benar-benar terjadi, dan hingga kini masih tetap hidup dan terjadi.

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar